Senin, 15 Desember 2008

Hak Atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia

Oleh : Rusman Anno *) -

tulisan ini dimuat diharian Radar Sulteng secara bersambung untuk 2 edisi pada tanggal 12 - 13 Nopember 2008 sebagai Refleksi Hari Kesehatan Nasional di Sulteng

Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia secara universal diatur dalam sebuah kesepakatan Bangsa-bangsa di dunia yang disebut dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia atau DUHAM, kemudian diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).

Saat ini Indonesia sudah meratifikasi Hak Asasi Manusia khususnya Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) dan Hak Sipil Politik (SIPOL) pada tahun 2005 menjadi dua buah Undang-Undang yang terpisah yaitu UU No 11 Tahun 2005 tentang Hak EKOSOB dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Hak SIPOL.

Dalam kedua Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa “ Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. “

Definisi HAM di atas juga disebutkan dalam beberapa UU lain yang sudah lebih dulu terbit yaitu UU RI No 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, UU RI No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU RI No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU RI No 9 Tahun 1998, TAP MPR XXIII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, Keppres No 181 Tahun 1998 dan Perpu No 1 Tahun 1999.

Dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia pemerintah memiliki tanggung jawab dan kewajiban atasnya yaitu to protect (melindungi), to respect (menghormati) dan to fullfil (memenuhi) karena HAM merupakan suatu hubungan vertical antara Negara/Pemerintah dengan Rakyatnya. Ketiga kewajiban ini menjadi ukuran bahwa pemerintah tidak mengabaikan rakyatnya yang telah memilihnya untuk memegang kekuasaan Negara dalam melayani rakyatnya.

Implementasi dari ketiga tanggung jawab dan kewajiban Negara di atas dapat dilihat dari political will dan good will pemerintah dalam bentuk regulasi ataupun kebijakan publik lainnya seperti kebijakan anggaran maupun kebijakan strategis serta dalam bentuk pemenuhan secara fisik (Infra struktur, suprastruktur dll).

Hak Atas Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia

Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental dan tak ternilai demi terlaksananya hak asasi manusia yang lainnya. Setiap orang berhak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau dan kondusif bagi kehidupan manusia yang berderajat.

Dalam Deklarasi Umum HAM Pasal 25 (1) menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan, tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan social yang penting.

Kovenan International Hak Ekosob mempertajam dan mendetilkan hak atas kesehatan dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Sesuai ketentuan pasal 12 (1) Kovenan, Negara menerima hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi fisik dan mental yang terjangkau. Sementara pasal 12 (2) menunjukan melalui suatu ilustrasi beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Negara peserta untuk mencapai realisasi yang utuh atas hak tersebut. Selain itu ada beberapa dalam Konvensi Internasional Penghapusan segala bentuk diskriminasi Rasial 1965, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 1979 dan dalam Konvensi Hak Anak 1989 serta beberapa instrument internasional lainnya.

Komite Hak Ekosob PBB dalam Komentar Umum Nomor 14 tentang Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi Yang Dapat Dijangkau menetapkan bahwa Hak Kesehatan mengandung 4 elemen penting yakni ; 1.) Ketersediaan (Availability) Implementasi fungsi kesehatan public dan fasilitas pelayanan kesehatan, barang dan jasa-jasa kesehatan serta program-program harus tersedia dalam kuantitas yang cukup di suatu negara, misalnya : air minum yang sehat, sanitasi yang memadai, rumah sakit, klinik, tenaga medis yang professional dan obat-obatan yang baik. 2.) Keterjangkauan (Accessibility) Fasilitas barang dan jasa kesehatan harus dapat diakses oleh setiap orang serta memiliki dimensi: tidak diskriminatif, akses secara fisik, akses ekonomi dan akses informasi. 3.) Penerimaan (Acceptability) Fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus diterima oleh etika medis dan budaya lokal. 4.) Kualitas (Quality) Di samping diterima secara budaya, fasilitas, barang dan jasa kesehatan harus sesuai dengan ilmu dan medis yang berkualitas dan baik.

Selain itu pelayanan kesehatan haruslah berbasis Hak Asasi Manusia yang meliputi ; 1.) Pelayanan Dasar, pelayanan ini berkaitan dengan penyakit umum dan penyakit yang relative minor dan disediakan oleh professional kesehatan dan atau dokter umum yang terlatih, yang bekerja dalam komunitas, dengan biaya relative rendah (aksesibel dan akseptibel secara ekonomi), 2.) Pelayanan sekunder, Pelayanan yang tersedia secara terpusat, biasanya rumah sakit dan secara khusus berkaitan dengan penyakit yang relative umum dan minor atau penyakit yang serius yang tidak dapat diatasi pada level masyarakat, menggunakan tenaga professional kesehatan yang terlatih, peralatan khusus, dengan biaya yang relative tinggi. 3) Pelayanan tersier, pelayanan yang tersedia di pusat-pusat tertentu, membutuhkan professional dan dokter spesialis yang berkaitan satu sama lain, membutuhkan peralatan khusus dan biayanya cukup mahal.

Instrumen Hukum Nasional

Indonesia cukup banyak memiliki instrument yang mengatur hak atas kesehatan baik dalam bentuk UU, Perpu, Keppres, Kepmen, Perda dan berbagai bentuk kebijakan public lainnya. Selain tercantum dalam pasal 28H UUD 1945 amandemen ke-2, juga sebagai salah satu Negara yang meratifikasi Hak Ekosob, Indonesia telah membuat Undang-undang No. 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang diharapkan dapat memperkuat dan mendorong tanggung jawab Negara terhadap Hak Ekosob termasuk Hak Atas Kesehatan. Instrumen-instrumen tersebut diantaranya dapat dilihat pada Pasal 9 UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 23/1992 tentang Kesehatan beserta lima aturan pelaksanaannya yaitu PP No. 81 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan anatomi tubuh manusia, UU No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 39/1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Instrumen-instrumen tersebut dapat menjadi indikator sejauhmana keseriusan dan tanggung jawab Pemerintah dalam memenuhi Hak Atas Kesehatan rakyatnya namun tetap berdasarkan upaya pemenuhan empat elemen penting Hak Atas Kesehatan dan tiga bentuk pelayanan kesehatan yang berbasis HAM.

Hari Kesehatan Nasional

Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-44 tahun 2008 haruslah menjadi sebuah momentum refleksi dan evaluasi pemerintah atas sejauhmana political dan good will pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap pemenuhan Hak Atas Kesehatan rakyatnya.

Pelaksanaan HKN tidaklah selalu harus dilakukan dengan perayaan seremonial seperti upacara-upacara, pameran atau lomba-lomba, tetapi seharusnya bisa lebih menyentuh pada masyarakat seperti melihat dan mengukur seberapa besar kebijakan anggaran di sektor kesehatan, bagaimana pemenuhan fasilitas fisik pelayanan kesehatan, seberapa banyak masyarakat miskin yang tidak terjangkau layanan kesehatan dan seberapa besar jumlah masyarakat miskin yang mendapatkan Askes atau tidak mendapatkan Askes serta apa upaya mengantisipasinya, bahkan bila perlu bisa mendapatkan data terpilah tentang jumlah orang sakit atau bagaimana mendorong agar semakin banyak tenaga kesehatan professional dan yang paling penting adalah bagaimana memaksimalkan upaya memenuhi empat elemen penting Hak Atas Kesehatan dan tiga Pelayanan Kesehatan yang berbasis HAM.

Butuh Perhatian Serius

Dalam konteks lokal Sulawesi Tengah dan Kota Palu upaya pemenuhan Hak Atas Kesehatan belum berjalan maksimal, beberapa kasus kesehatan yang penulis temui dapat menggambarkan sejauhmana tingkat keseriusan pemerintah dalam memberi perhatian pada rakyatnya.

Sebagai contoh kasus (dapat dibaca dibeberapa edisi Radar Sulteng tahun 2008) untuk konteks Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu, ada dua orang anak dari keluarga miskin yang sangat membutuhkan uluran tangan semua orang dan perhatian khusus dari Pemerintah Sulawesi Tengah dan Kota Palu. Siti Maryam anak Usia empatbelas bulan yang menderita tumor rahang sejak bayi yang pernah dirujuk ke RS dr Wahidin Makassar untuk menjalani operasi pengangkatan tumor sebanyak empat kali dan kini sedang menjalani masa istirahat selama empat bulan untuk kemudian dirujuk kembali ke Makassar namun orang tua Siti Maryam merasa tidak sanggup lagi karena walaupun ditanggung pihak Askes orang tua Sitti Maryam sudah mengeluarkan lebih dari sepuluhjuta rupiah untuk biaya pengobatan Sitti Maryam selama tujuh bulan di Makassar.

Selain Sitti, saat ini juga satu orang anak usia 6 tahun yang tidak memiliki anus akan menjalani operasi pembuatan anus permanen di RS dr Wahidin di bulan Desember nanti setelah sebelumnya menjalani operasi pembuatan anus sementara di RS Anutapura Palu.

Namun kendala utama dari kedua orang anak ini bahkan mungkin dari keluarga miskin lainnya adalah mereka tidak memiliki Kartu ‘Ajaib’ Jamkesmas untuk bisa mengakses Hak Atas Kesehatan mereka karena data yang digunakan untuk pengadaan Kartu Ajaib tersebut adalah data kadaluarsa keluaran tahun 2005. Selain itu kebutuhan biaya hidup pendamping selama berada di RS rujukan juga menjadi pertimbangan penting kedua orang tua anak tersebut untuk ‘mau’ merujuk anak mereka, pertanyaannya kemudian apakah nasib kedua anak tersebut harus dibiarkan begitu saja? Siapa yang bertanggungjawab?

Bila Pemerintah Sulawesi Tengah dan Kota Palu serius dalam upaya pemenuhan Hak Atas Kesehatan rakyatnya maka dua kasus di atas dan banyak kasus lainnya tentulah dapat menjadi perhatian serius daripada sekedar ceremonial belaka.

Memang membutuhkan energi lebih untuk memenuhi Hak Atas Kesehatan, tetapi itulah tanggung jawab sesungguhnya Pemerintah terhadap Rakyatnya.

Rusman Anno : Pegiat HAM (Alumni angkatan I Pendidikan HAM Tahunan ELSAM – EQUITAS) dan Divisi Advokasi & Litbang Urban Poor Linkage (UPLINK) Palu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda memberi komentar terhadap blog ini, saya sangat mengahargai itu, terima kasih.